Merasa sedih dan putus asa adalah hal wajar bagi manusia. Namun, dalam surat Ali Imran 139, Allah melarang keduanya karena manusia memiliki kedudukan yang mulia.
Ayat ini mengingatkan agar kita tetap kuat dan optimis menghadapi ujian hidup.
Surat Ali 'Imran ayat 139 berbunyi:
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
"Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang beriman."
Ayat ini merupakan pengingat yang sangat mendalam bagi setiap Muslim, terutama ketika menghadapi tantangan atau kesulitan dalam hidup. Ayat ini memberikan tiga pesan utama yang erat kaitannya dengan kebahagiaan sejati dalam Islam.
1. Jangan Lemah dan Jangan Bersedih
Pesan pertama dalam ayat ini adalah jangan merasa lemah dan jangan bersedih. Perasaan lemah dan kesedihan adalah reaksi alami manusia dalam menghadapi masalah, namun Al-Qur'an menasihati agar tidak terjebak dalam perasaan tersebut. Islam mendorong umatnya untuk bersikap optimis, memiliki mental yang kuat, serta terus berusaha bangkit.
Dalam Islam, kebahagiaan tidak diukur dari tercapainya semua keinginan duniawi. Sebaliknya, kebahagiaan yang sejati adalah sikap yang terbentuk dari penerimaan terhadap ketentuan Allah (qada dan qadar) serta keyakinan bahwa segala yang terjadi adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Bersandar kepada Allah dan mengatasi kelemahan akan mendatangkan ketenangan hati, yang menjadi inti kebahagiaan menurut ajaran Islam. Jalaluddin Rumi mengatakan,
"Kebahagiaan tidak terletak pada harta benda, tetapi pada hati yang penuh syukur dan cinta kepada Allah."
2. Keyakinan Sebagai Umat yang Tinggi Derajatnya
Allah mengingatkan bahwa kaum Muslim adalah umat yang memiliki kedudukan tinggi jika mereka beriman. Ini berarti, keimanan yang kokoh membawa kemuliaan dan kehormatan bagi seseorang di hadapan Allah. Pengakuan ini mendorong umat untuk bangga akan keislaman dan meyakini bahwa ujian dunia adalah bagian dari proses menuju derajat yang lebih tinggi.
Keimanan menjadi kunci dalam mencapai kebahagiaan, sebab orang yang beriman mampu melihat segala sesuatu dengan sudut pandang spiritual. Bagi orang beriman, kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan buah dari ketenangan hati dan keyakinan yang kuat. Maka, Allah memberikan keteguhan hati kepada orang yang yakin bahwa hidup ini adalah ladang ujian dan setiap ujian akan membawa mereka pada derajat yang lebih tinggi.
3. Kebahagiaan dalam Keimanan
Ayat ini ditutup dengan syarat bagi orang yang meraih derajat tertinggi: keimanan yang sejati. Bagi seorang Muslim, keimanan bukan hanya sekadar percaya kepada Allah, tetapi juga menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, kebahagiaan dalam Islam bersumber dari ketaatan kepada Allah dan penerimaan terhadap setiap takdir yang telah ditetapkan-Nya.
"Ketahuilah, kebahagiaan seorang hamba adalah ketika ia merasakan manisnya iman dan hidup dalam ketaatan kepada Rabb-nya." (Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani).
Dalam hidup sehari-hari, keimanan memberikan panduan untuk menghadapi setiap tantangan tanpa mengeluh. Umat Islam yang meyakini kebesaran Allah akan memiliki mental yang kuat, sehingga saat mereka diuji, mereka tidak hanya mampu menghadapi dengan sabar, tetapi juga merasa bahagia karena yakin sedang dekat dengan Allah.
Selain perkara di atas, nabi Muhammad juga menyampaikan ada beberapa perkara yang menjadi sebab kebahagian, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ.
“Ada empat perkara termasuk kebahagiaan; istri yang shalihah, tempat tinggal yang lapang, teman atau tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman.” (HR Ibnu Hibban).
Surat Ali 'Imran ayat 139 tadi mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dalam Islam adalah ketenangan hati yang tercapai dengan menghindari kelemahan dan kesedihan, serta berpegang pada keimanan yang kuat. Ayat ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk terus optimis, kuat, dan yakin dalam menjalani setiap fase kehidupan. Allah menginginkan umat-Nya bahagia, tetapi kebahagiaan itu harus diraih dengan sikap yang benar dan keimanan yang kokoh.
Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.” [Abu Hamid al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin]
Oleh karena itu, kebahagiaan menurut Al-Qur'an bukanlah sekadar perasaan senang yang muncul dari kenikmatan dunia, melainkan ketenangan jiwa yang hadir melalui keyakinan kepada Allah dan usaha untuk tetap tegar dalam menghadapi ujian hidup.